Senin, 08 Februari 2010

Mundur satu langkah, untuk maju seribu langkah


Ada kalanya saat anak-anak kita berebut sesuatu, maka yang menjadi kakak atau salah satu diminta untuk mengalah, oleh orang tuanya. Namun bukan dengan omelan atau paksaan, seorang ibu hanya mengkatakan: ”Anak yang ngalah disayang Allah”. Apa yang terjadi? Kejadiannya malah sang adik dan kakak malah saling memberi: ”Sudah, buat kamu saja, saya mau disayang Allah, saya nanti dapat yang lebih baik dan lebih bagus”. Sebaliknya, sang kakak malah mengatakan: ”Ngak ah buat kamu saja”. 

Begitu pula dengan kalimat ”Mundur satu langkah, untuk maju seribu langkah”. Kalimat ini bisa membesarkan hati tidak larut dalam kesusahan yang berkepanjangan, ”melankolis”, namun memberikan semangat optimisme untuk meraih yang lebih bagus dan lebih banyak. Kenyataannya sering terjadi dalam peperangan, seorang panglima perang misalnya menarik mundur pasukannya, untuk kemudian menyusun strategi dan kekuatan baru, untuk menyerang kembali. Kiasan-kiasan, kalimat mutiara itulah yang bila disampaikan oleh seorang ibu, seorang ayah, atau seorang guru, ini dapat membuat anak menjadi termotivasi untuk senantiasa berlaku bijak.

Pengaruh daya hidup

Suatu hari, semasa SD, di sekolah, uang seorang anak hilang, maka ia tidak bisa jajan dan pulangnya harus berjalan kaki yang cukup jauh. Setiba di rumah, ia menceritakan hal ini kepada ibunya. Maka apakah yang ibu katakan: ”Ikhlaskan saja uang mu itu pergi, nanti ada gantinya yang lebih baik”. Hal ini, hingga sekarang masih tetap dalam ingatan anak itu. Dalam kesempatan lain seseorang kehilangan jam tangannya, ”lenyap” ketinggalan di WC umum lenyap. Maka yang ia pikirkan saat itu, ”Ya, kalau memang masih milik, maka akan kembali, tapi bila itu bukan lagi milik, ya sudah, mau di bilang apa! Dan ia berusaha mengikhlaskan”. Kalimat yang disampaikan ibu tadi, menimbulkan rasa manusianya (Jasmani & Rohani) tumbuh, dan kita tidak terlalu cinta pada kebendaan (Rewani). Upaya ikhtiar mencari, menanyakan kepada orang-orang tentang hilangnya jam tersebut, tentunya tetap harus dilakukan. Selain itu, kalimat ”Iklaskan, nanti ada gantinya!”, telah menimbulkan rasa optimis, harapan untuk mencapai yang lebih baik, dengan lebih waspada, lebih berhati-hati dan terus bekerja dan berusaha.
Apa saja daya hidup dan daya alam yang dapat mempengaruhi sifat manusia, sehingga manusia memiliki tingkatan hidup yang dimanifestasikan dalam prilakunya:

•Alam dan Daya Hidup/ Roh Rewani (Daya Hidup Kebendaan).
•Alam dan Daya Hidup/ Roh Nabati (Daya Hidup Tumbuh-tumbuhan).
•Alam dan Daya Hidup/ Roh Hewani (Daya Hidup Binatang).
•Alam dan Daya Hidup/ Roh Jasmani (Daya Hidup Manusia).
•Alam dan Daya Hidup/ Roh Rohani/ Daya Hidup lnsan/ Alam Rohaniah.
•Alam dan Daya Hidup/ Roh Rahmani/ Daya Hidup para utusan/ Alam Rahmaniah.
•Alam dan Daya Hidup/ Roh Robani/ Daya Hidup para ciptaan Tuhan yang mendapatkan keluhuran dari Tuhan Yang Maha Esa/ Alam Robaniah.
Sumber dari website: Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan SUBUD (SUSILA BUDHI DHARMA)

Ya, tentunya manusia senantiasa berusaha berlatih untuk meningkatkan daya hidupnya, menjauh atau mengurangi pengaruh daya kebendaan, daya tumbuh-tumbuhan, daya hewani dan menuju kepada daya insan / rohaniah.

Pokoknya saya begini adanya

Setelah kita menikah, maka tidak ada kata mundur, tetapi maju terus. Lagaknya perahu layar, walau diterjang ombak tinggi dan angin kencang, perahu tetap tenang berdiri kokoh dan berlayar terus. Tentu setiap orang tidak ada yang sempurna, dan umumnya setelah menjadi satu rumah tangga, seluruh kegiatan tingkah laku asli dari suami dan juga tingkah laku asli dari istri, barulah kelihatan. Dari cara makan, cara tidur, cara mandi, bila sakit, bila sedang kesal atau marah dan sebagainya. Ada kalanya seorang istri, mengungkapkan ”Pokoknya saya begini adanya!”, maksudnya si suami juga harus dapat menerima ”buruknya” juga, tidak saja, hanya yang ”baiknya” saja. Dan juga sebaliknya. Kekurangan sang Suami juga harus dimaklumi oleh si istri, kan telah menjadi satu. Ya tentunya, seiring dengan jalannya roda kehidupan, dengan upaya perbaikan yang penuh pengertian, kesabaran, ketekunan, keuletan, kasih sayang, bersama-sama, saling menerima ”kondisi” masing-masing, kelebihan dan kekurangan tersebut. Serta senantiasa berupaya memperbaiki ”keburukan”/ kekurangan, insyaAllah dengan niat dan permohonan kepada Allah, pasti dapat terwujud. Buktikan sendiri!!

Jumat, 29 Januari 2010

Motivasi ”BAHAGIA”


Setiap hari Sabtu sore, anak-anak sudah rapi tunggu di rumah. Apa gerangan yang mereka nantikan? Eh, ternyata mereka menantikan datangnya sang Ayah dari kantor, karena setiap Sabtu Ayah pasti membawa buku komik klasik dan tumpukan koran selama satu minggu, dari kantor. Horee, anak-anak berebut cium tangan dan menyambar komik dan koran. Semua kebagian bacaan. Kalau koran, yang dicari lembar cergamnya. Demikian setiap akhir pekan diisi dengan aktivitas kumpul keluarga dan membaca, ini merupakan salah satu rangkaian kebahagiaan.

Kebahagiaan itu bukan muncul dengan sendirinya, atau dibiarkan mengalir, kadang-kadang bahagia, kadang-kadang tidak. Namun, kebahagiaan itu memang harus diupayakan, diusahakan, diciptakan bersama suami dan istri, sebagai orang tua. Ada motivasi keluarga disitu untuk mewujudkan bahagia, seperti saling menyapa dengan manis dan manja, saling memberi dan menerima, pulang dari luar rumah membawa kesukaan kekasih hati dan si buah hati, seperti martabak atau buah-buah tertentu kesukaan mereka, walau mungkin hanya sebutir. Membawa buku, majalah, tabloid bacaan keluarga dan lain-lain, ini memerlukan upaya. Jangan lupa hari-hari bahagia pasangan Anda, putra-putri Anda, seperti hari ulang tahun, hari pernikahan, hari-hari bahagia lainnya, saat menyatakan ”I love you”, seperti saat melamar. Bila hal ini sudah terbiasa, maka upaya tersebut menjadi ringan dijalankan, selain membawa bahagia, juga menimbulkan rasa rindu, satu sama lain, rindu akan keluarga.

Bangun ”SISTEM” dalam rumah tangga

Sebagai motivator wirausaha dan dosen manajemen perusahaan, penulis selalu menyarankan: Agar sukses membangun usaha, haruslah sejak awal, membangun SISTEM, sebagai dasar menjalankan usaha, yang meliputi aturan main, SOP, peraturan atau rambu-rambu. Demikian pula dalam membangun rumah tangga, bahkan dalam membangun negara. Negara yang selamat dan sejahtera adalah negara yang pemerintahannya memiliki sistem dan bersama-sama seluruh rakyatnya menjalankan sistem tersebut, dengan kesadaran penuh. Nah, membangun sistem dalam rumah tangga, suami-istri harus bekerja sama menyusun sistemnya dahulu, sesuai dengan aturan umum yang berlaku di masyarakat dan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dimiliki keduanya. Landasan berumah tangga yang baik adalah mengamalkan Al Qur’an dan Al Hadis.
Seperti apa sih sistem dalam rumah tangga itu? Ya, itu merupakan aturan bagaimana jam kerja, pulang kerja, mengatur kehidupan dalam rumah tangga, mendidik anak-anak, mengisi akhir pekan, liburan, keuangan keluarga, menabung, belanja, kapan punya rumah sendiri, kendaraan, ibadah keagamaan, bagaimana mengatur anak-anak, bersosialisasi dengan sanak-saudara dan tetangga, apa kesukaan dan ketidak sukaan masing-masing, dll. Yang sebetulnya semua itu timbul dengan spontanitas. Namun yang membedakan suksesnya sebuah keluarga itu, bila tidak banyak benturan-benturan, percekcokan karena semua sudah ditata, ditulis dalam sistem (rules of the games), dan suami-istri sudah kenal betul aturan yang mereka susun bersama, bahkan mereka sudah sehati.
Sistem ini sebagai landasan namun juga sebagai arahan pencapaian cita-cita bahtera mereka berdua. Karena hidup menjadi lebih fokus, tidak berarti, tidak fleksibel atau kaku. Nah, sistem ini harus dibangun, diterapkan secara konsisten, dan dilaksanakan secara disiplin.

”Bagaimana bila terjadi penyimpangan, keluar dari system?” Jawabnya: ”Bila dasar pengertian sistem ini ditanamkan dan diterapkan dengan sungguh-sungguh (passion/ jihad) dan dengan keterbukaan. Maka penyimpangan tidak akan pernah terjadi, terlintas saja tidak, apa lagi membayangkan menyimpang dari sistem.

Melayani hingga akhir


Alkisah seorang ibu yang dalam keadaan sakit, saat merasa ajalnya akan tiba, beliau sempat berpamitan dengan suaminya, dengan menyampaikan, permohonan maaf, maaf tidak dapat melayani selama sakit. Begitulah sebagai seorang ibu dan istri yang sangat tulus, setia dan mulia mengetahui betul tugasnya sebagai istri, mendampingi suami, menyiapkan makanan suami, menemani suami hingga sama-sama mencapai usia udzur, dan kini harus mendahului menghadap Sang Khaliq. Ibu ini sempat menitipkan kepada putra-putrinya agar mengurus ayah mereka, sepeninggalannya kelak. Dan amanah itu alhamdulillah dapat dilaksanakan hingga ayah mereka menyusul 8 tahun kemudian. Saat Ibu ini berpulang, ayah mereka mengatakan, tidak terfikir untuk mencari pengganti ibu, karena tidak ingin terpisah dari putra-putrinya, disamping ayah ini berusaha semandiri mungkin agar tidak merepotkan putra-putrinya.
Hal ini pernah coba di ”rasakan” seandainya istri mendahului, maka tidak bisa membayangkan bagaimana, dari saat awal berjuang bersama membina rumah tangga dari nol, bersama-sama sejak berkenalan, hingga kuliah, bekerja, membangun rumah tangga, membesarkan anak-anak, pergi haji bareng, semua bersama-sama, sudah saling tahu kesukaan, kebiasaan, selera, pelayanan, luar-dalam, dan rasanya tak mudah untuk digantikan. Malah sebaiknya diisi dengan pendekatan diri kepada Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, beramal bagi masyarakat, bangsa dan negara, sambil memperhatikan pertumbuhan anak dan cucu.

Syukuran Perayaan Perkawinan


Hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang telah disahkan menurut agama sebagai pasangan suami-istri, adalah atas kehendak Allah Yang Maha Kuasa, dan perkawinannya bersifat Sakral, Agung dan Suci. Maka sangat perlu dipelihara kelangsungannya sampai akhir hayat. Surat Ar Rum, ayat 21: ”Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya, Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cendrung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikanNya diantara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kaum yang berfikir”.

Sedangkan dalam Matheus 19:6: ”So they are no longer two, but one, therefore, what God has joined together, let man no separate”.

Sehingga terdapat istilah Perayaan Perkawinan atau Wedding Aniversary, yang lebih merupakan syukuran atas anugerah Allah, serta prestasi atas kesetiaan dalam berumah tangga.

Nah, Perayaan Perkawinan Anda telah mencapai yang mana?
1 tahun Cotton
2 tahun Paper
3 tahun Leather
4 tahun Silk
5 tahun Wood
6 tahun Iron
7 tahun Wool
8 tahun Bronze
9 tahun Pottery
10 tahun Tin
15 tahun Crystal
20 tahun Porcelain
25 tahun Silver
30 tahun Pearl
35 tahun Coral
40 tahun Ruby
45 tahun Sapphire
50 tahun Gold
55 tahun Emerald
60 tahun Diamond
75 tahun 2nd Diamond

Teruslah berusaha dan raihlah perayaan perkawinan yang membahagiakan atas pencapaian bersama. Alhamdulillah bila kita dapat mencapai perkawinan emas.

Pernikahan sama dengan membangun perusahaan

Dalam sebuah konsultasi pernikahan dari seorang phychic therapist, menyampaikan bahwa dalam membangun mahligai pernikahan haruslah pandai mengatur rumah tangga, layaknya mengelola sebuah perusahaan. Ada direktur utamanya dan ada direktur keuangan, dan bersama dapat membagi tugas, dalam menjalankan operasional rumah tangga tersebut. Masing-masing maupun bersama senantiasa pandai mengatur uang masuk dan uang keluar, sehingga tegaknya dan langgengnya rumah tangga tersebut. Peraturan rumah tangga harus dijaga dan tetap dijunjung agar senantiasa rumah tangga tersebut menjadi sejahteraan dan bahagia.

Bibit, Bebet, Bobot


Pesan setiap orang tua kepada anaknya yang akan mencari pasangan hidup selain kondisi dan sikap dari sang calon menantu, tetapi juga orang tua menanyakan bagaimana bibit, bebet dan bobot keluarganya: Siapa orang tuanya? Saudara keluarga, bahkan siapa leluhurnya? Asalnya dari mana? Kemudian tinggalnya dimana? Pekerjaannya apa? Lingkungan pergaulannya bagaimana? Kehidupan sosial bagaimana?

Sedangkan, arti Bibit, Bebet, Bobot dari Wikiquote Indonesia, koleksi kutipan bebas berbahasa Indonesia adalah:
Istilah dalam bahasa Jawa ini, menyatakan bahwa apabila seseorang ingin menikah maka dari pasangannya ia harus melihat bibitnya, bebetnya dan bobotnya.

Makna kata
Arti bibit adalah rupa (harafiah: asal-usul, keturunan atau bibit pula seperti dalam bahasa Indonesia).
Arti bebet adalah keluarga, lingkungan, dengan siapa teman2nya
Arti bobot adalah nilai pribadi/ diri yang bersangkutan. disini termasuk kepribadian, pendidikan dan kepintarannya, pekerjaan juga nilai pribadi seperti gaya hidup dan IMAN.
Diperoleh dari "http://id.wikiquote.org/wiki/Bibit,_bebet,_bobot"

Seyogyanya pengertian Bibit, Bebet, Bobot ini ditanamkan sejak dini dalam diri seorang anak, agar senantiasa sejak akil balik ia telah dapat menilai dan mempergunakan akal pikirannya yang jernih, untuk berteman, bergaul. Memilih teman bukan didasarkan atas emosi atau nafsu, namun atas dasar pengertian cinta dan kasih sayang.

Sebagian dari kualitas Bibit, Bebet dan Bobot, justru melihat dari hubungan sosial antara orang tua dengan anak-anaknya, bagaimana memperhatikan nilai-nilai keimanan dan membina kasih sayang. Sebaliknya anak-anak yang baik adalah yang menaruh hormat dan bangga kepada orang tuanya. Saling menjaga dan menjunjung tinggi nama harum keluarganya dan leluhurnya sehingga memiliki pertahanan diri yang kuat menghindari perbuatan tercela.

“Dari Jabir r.a., Sesungguhnya Nabi SAW. telah bersabda: Sesungguhnya perempuan itu dinikahi orang karena agamanya, kedudukan, hartanya, dan kecantikannya; maka pilihlah yang beragama” (HR. Muslim dan Tirmidzi).

Kaken dan Ninen

Hampir setiap sambutan pernikahan, apa itu dalam acara pengajian, akad nikah, atau acara resepsi, tidak lupa menyebutkan: ”Semoga bahagia hingga kaken-kaken dan ninen-ninen”. Ini bahasa Jawa, dalam adat dan bahasa daerah lainnya pasti juga ada, yang artinya: “hingga menjadi kakek-kakek dan nenek-nenek, tetap hidup rukun bahagia dan sejahtera, (dengan satu kakek dan satu nenek), hingga akhir hayat.

Gambaran pengertian Kaken dan Ninen ini penulis dapatkan saat diminta orang tuanya, mendampingi mereka ke acara reuni para mantan diplomat departemen luar negeri. Diantara bapak-bapak dan ibu-ibu yang sudah berambut putih, mereka bersenda gurau, berbincang tentang masa lalu mereka saat berdinas di luar negeri dan menceritakan apa kegiatan mereka sehari-hari. Disinilah terlintas, Oh beginilah bila sudah menjadi kakek dan nenek, masing-masing dengan pasangannya datang, saling menyapa, tersenyum, gembira, menceitakan bagaimana putra-putri mereka? Cucunya berapa? Apa sudah kuliah? Atau kerja? Di mana? Itulah saat kebahagiaan orang tua. Yang penulis lihat mereka kelihatan akur bahagia dan bangga dengan pasangannya. Terlintas di hati dan pikiran penulis adalah, semoga bisa hidup seperti mereka, hingga kaken dan ninen hingga akhir hayat (dengan satu nenek). 

MUKADIMAH


Isi buku ini mengambil situasi di masa 1960an hingga 2000an. Dalam kurun waktu itu penulis mendapat pendidikan dari orang tua yang mengenyam kondisi disiplin militer (Ayah ikut berperang gerilya di Jogyakarta – Malang, bahkan pernah ditawan di Vredes Burg, Jogya dan di Ambarawa). Disamping pendidikan konservatif keraton (karena eyang adalah penewu, kerabat keraton, sehingga menjunjung tata krama, adat dan sopan santun). Ditambah penulis juga mengalami pendidikan pergaulan international (karena ayah adalah seorang diplomat karier, dari sejak awal departemen luar negeri dibentuk di Jogyakarta, beliau melamar dan diterima di kantor DEPLU tersebut. Beliau meniti karier hingga puncaknya sebagai Duta Besar Luar biasa dan berkuasa penuh RI untuk Negara Ethopia, Afrika).

Nah, apakah kondisi pengalaman pendidikan masa itu masih relevan dengan kondisi anak zaman sekarang ini? Wah kiranya tidak sepenuhnya, karena penulispun tidak sepenuhnya menerapkan cara ”dulu” dengan kondisi anak zaman sekarang, walau gaya konservatif, tetap diterapkan, namun, yang pasti, banyak hal dalam hidup ini yang tetap relevan dan patut dipertahankan, agar hidup keluarga kita senantiasa, dihormati orang, tidak berbuat yang tercela, hidup selamat di dunia dan di akhirat dan mendapat Ridlo Allah.
Demikian buku saku ini untuk tujuan membangun rumah tangga dengan landasan kehidupan yang Sakinah (ketentraman), Mawaddah (kasih), dan Rahmah (sayang).
Jakarta, Oktober 2009